wisuda program pasca 2012

wisuda program pasca 2012
foto bersama

Minggu, 05 Mei 2013

HADITH MAUDHU'


Oleh: Asis, S.H.I, M.Pd.I
ABSTRAK
Hadith mawdhu’ adalah hadith yang dibuat/diada-adakan oleh seseorang  yang dinisbatkan kepada Nabi swa. dengan tujuan-tujuan tertentu baik buruk atau baik sekalipun. Munculnya hadith mawdhu’ ada dua pendapat; pertama muncul pada masa Nabi Muhammad SAW., namun pendapat ini lemah karna tidak didukung oleh bukti-bukti historis dan hanya bersifat dugaan saja. Kedua pendapat mayoritas ulama sudah terjadi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib disebabkan oleh beberapa factor : Pertentangan politik antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, Fanatisme suku dan ras yang berlebihan yang dilakukan oleh Bangsa Arab dengan Bangsa non Arab yakni kaum Mawali, Fanatisme tehadap Madzhab, baik yang dilakukan oleh Madzhab Fighi maupun penganut Madzhab ilmu Kalam, Pendekatan atau cari muka terhadap penguasa seringkali dilakukan dengan cara membuat hadith mawdhu’. Kreteria-kreteria hadith mawdhu’ dapat diketahui dengan cara memperhatikan sanad dan matan hadith.
Kata Kunci : Mawdhu’, munculnya hadith mawdhu’, factor-faktor, kreteria sanad dan matan.
A.    Definisi Hadith Mawdhu’
Secara etemologis kata Mawdhu’ adalah isim maf’ul dari fiil madhi  :
 وضع -  يضع - وضعا
Yang menurut bahasa berarti;     ألإسقاط  (meletakkan atau menyimpan), ألإفتراء ولإختلاق  (mengada-ada atau membuat-buat),  dan  ألمتروك ألترك أى  (ditinggalkan).[1]
            Sedangkan secara terminologis hadith mawdhu’ diartikan sebagai berikut;
ألمختلق المصنوع المكذوب على رسول اللَه ص م عمداً0                                       
                   Artinya: “Hadith yang dibuat-buat atau diciptakan, yang didustakan
                                     atas nama Rasulullah  SAW. Secara sengaja”.[2]


Kemudian  juga hadith Mawdhu’ diartikan sebagai berikut;
             ما نسب إلى رسول اللَه ص م إختلاقا وكذبا ممَا لم يقله أو يفعله أو يقره0 Artinya: “Segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah SWA.
                 Secara dibuat-buat dan dusta padahal beliau tidak mengatakan, atau melakukan atau menetapkannya”.[3]

Dari beberapa definisi di atas dapat difahami bahwa apa saja yang dinisbatkan atau disandarkan kepada Rasulullah SWA, baik yang bersifat positif seperti untuk kepentingan dakwah dan ibadah, maupun yang bersifat negative seperti yang dibuat secara sengaja untuk menyesatkan orang atau untuk kepentingan egoisme kelompok, jika Nabi sendiri tidak menyabdakannya, maka hal itu termasuk hadith Mawdhu’. Definisi tersebut lebih dipersingkat oleh Idri, namun maksud dan tujuannya sama yaitu : Hadith Mawdhu’ sesuatu yang dibuat dan dinisbatkan kepada Rasulullah dengan sengaja atau tidak, dengan tujuan buruk atau baik sekalipun.[4] Bahkan ada juga sebagian ulama mengatakan bahwa yang termasuk katergori Hadith ini bukan hanya dinisbatkan pada nabi saja, tetapi juga kepada sahabat dan tabi’in, sebagaimana pada definisi dibwah ini:
الخبر المخثلق المكذوب المنسوب إلى رسول الله ص م إفثراءَ عليه أو إلى الصحابي أو إلي الثابعى0
Artinya:“Berita yang dibuat-buat yang disandarkan kepada Rasulullah SWA, dengan sengaja berdusta atas nama beliau atau atas nama shahabat dan tabi’iin” [5]

Hadith Nabi mempunyai fungsi dan kedudukan yang vital dalam sumber ajaran islam, karna Hadith juga sebagai sumber hokum setelah al-Qur’an. Namun demikian fakta sejarah telah menyebutkan bahwa pada awal munculnya agama Islam Hadith Nabi tidak ditulis secara resmi sebagaimana al-Qur’an, kecuali penulisan-penulisan yang berangkat atas kehendak pribadi/individualistic. Upaya pembukuan Hadits secara resmi baru dilaksanakan pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz kholifah ke delapan dari Dinasti Umayyah. Tindakan Umar bin Abdul Aziz tergolong sangat mulia dengan mengeluarkan perintah kepada seluruh gubernur yang berkuasa pada saat itu untuk mengumpulkan dan menyelamatkan kemusnahan dan pemalsuan Hadits. Ada dua hal penting yang menjadi spirit mengapa Umar mengambil tindakan untuk melakukan pembukuan Hadits?. Pertama, Ia hawatir akan hilangnya hadits-hadits seiring dengan meninggalnya para ulama dimedan perang. Kedua: ia khawatir akan tercampurnya hadits-hadits yang shahih dengan yang mawdhu’.[6]

B.     Awal Mula Terjadinya Hadith Mawdhu’
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan munculnya pemalsuan hadith. Menurut Ahmad Amin sebagai mana ditulis oleh Idri dalam Studi Hadith, bahwa hadith mawdhu’sudah ada sejak masa Rasul masih hidup, berdasarkan pemahaman terhadap hadith mutawatir yang mengancam terhadap orang-orang yang berdusta pada Nabi dengan neraka. Hadith yang dimaksud adalah sebagai berikut: 
من كذَب علىَ فليتبوَأ مقعده من النار
Artinya: “Barang siapa yang dengan sengaja berdusta kepadaku, maka hendaklah ia  menempati tempat duduknya dineraka”[7]
Menurut Ahmad Amin, hadith tersebut menggambarkan bahwa kemungkinan pada masa Rasulullah SAW. telah terjadi pemalsuan hadith. Namun demikian, menurut Idri  pendapat Amin ini mengadung kelemahan, sebab yang dimaksud hanya dugaan yang tersirat dalam hadith tersebut, lagi pula tidak mempunyai bukti historis dan tidak tercantum dalam kitab-kitab standart yang berkenaan dengan asbabul urud.[8] Selain Ahmad Amin ada juga yang berpendapat bahwa hadith mawdhu’ sudah ada sejak masa Nabi SAW. pendapat ini dikemukakan oleh Shalah al-Din ibn Ahmad al-Adhabi. Hanya saja, berbeda dengan Amin, bahwa yang dimaksud oleh Shalah adalah hadith yang bekenaan dengan masalah keduniaan bukan menyangkut keagamaan berdasarkan hadith yang diriwayatkan oleh al-Thahawi dan al-Thabrani, yang menjelaskan bahwa pada masa Rasuluullah SAW. ada seseorang yang mengaku telah diberi wewenang oleh Rasul untuk menyelesaikan suatu masalah disuatu kelompok masyarakat disekitar Madinah. Kemudian ia melamar seorang gadis penduduk masyarakat tersebut, tetapi lamaran tersebut ditolak. Masyarakat lalu mengirim utusan kepada Rasul untuk meneliti kebenaran apa yang dikatakan orang itu. Ternyata Rasul tidak tidak pernah menyuruh seorang yang mengatasnamakan beliau. Ternyata Rasul tidak pernah menyuruh seorang yang mengatasnamakan beliau. Menurut para ulama hadith ini nilainya Dhaif, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah adanya indikasi pemalsuan hadith.[9]
Sementara Pendapat mayoritas ulama hadith, bahwa pemalsuan hadith sudah terjadi pada masa khlifah yang ke empat Ali bin Abi Thalib. Alasan mereka adalah keadaan hadith sejak zaman Nabi swa. hingga sebelum terjadinya pertentangan antara ‘Ali bin abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan’ masih terhindar dari pemalsuan. Demikian pula pada masa Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin al-khottob dan Utsman bin Affan. Hal ini menunjukkan betapa tingginya kewaspadaan dan kehati-hatian mereka dalam menjaga kemurnian hadith.[10] Pendapat Ulama hadith ini menjadi pegangan para ulama kontemporer, seperti Ajjaj al-Khathib, Musthafa al-Siba’I, Nur ad-Din ‘Atar, Muhammad Abu Zahroh, Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, dan Abd al-Fatah Abu Gadah.[11] Menurut mereka, pemalsuan hadith itu terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Mereka beralasan bahwa pada masa itu telah terjadi pertentangan politik antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan yang cukup serius dan prestisius. Masing-masing golongan yang bertentangan, selain berusaha saling mengalahkan juga berupaya mempengaruhi pihak-pihak lain yang tidak terlibat dalam perpecahan. Salah satu cara yang mereka tempuh ialah dengan membuat hadith mawdhu’. Motif mereka yang mendorong membuat hadith mawdhu’ diantaranya adalah adanya pertentangan politik, Fantisme suku dan agama, perbedaan madhab dan teologi dll.

C.    Faktor-faktor Pendorong Pembuatan Hadith Mawdhu’
Ada beberapa factor penyebab yang mendorong orang-orang membuat hadith mawdhu’, antara lain untuk kepentingan politik-politik tertentu, fanatisme golongan dan agama sebagaimana dilakukan oleh golongan zindiq, untuk mendukung aliran-aliran dalam ushul al-Din, karna kebingungan yang dialami oleh kalangan ahli tasawwuf, untuk mendekatkan diri kepada Allah secara berlebih-lebihan, untuk menjilat atau pendekatan pada penguasa.
1.    Faktor politik
Di antara factor-faktor yang mendorong seseorang membuat hadith mawdhu’ adalah factor politik. Pertentangan politik antara kubu Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan yang didukung oleh pendukung setia masing-masing telah mendorong mereka untuk melakukan segala cara demi melanggengkan kekuasaan dengan membuat hadith-hadith mawdhu’. Masing-masing di antara mereka saling mengklim bahwa kelompoknyalah yang paling layak berkuasa memegang tampuk kepemimpinan. Akibat dari perpecahan politik ini, maka yang pertama-tama membuat hadith mawdhu’ adalah dari golongan Syi’ah yang nota-banenya merupakan pendukung setia terhadap Ali bin Abi Thalib. Ibnu Mubarok pernah mengatakan:
الدين لأهل الحديث والكلام والحيل لأهل الرَأى والكدب للرَافضة
Artinya: “Agama adalah milik ahli hadith, kalam dan hilah adalah milik ahl al-ra’yi, dan kedustaan adalah milik kaum Rafidhah”[12]
Contoh hadith mawdhu’ yang dibuat oleh golongan Syi’ah adalah:
ياعلى إنَ اللَه غفر لك ولذريَتك ولوالديك ولأهلك ولشيعتك ولمحبى شيعتك
Artinya: “Wahai Ali sesungguhnya Allah telah mengampuni kamu, keturunanmu, orang tuamu, keluargamu, pengikutmu, dan orang yang menghidupkan syi’ahmu.”[13]
إذا رأيثم معاويه على منبارى فا قتلوه
Artinya: “Apabila kalian melihat Muawiyah di atas mimbarku maka bunuhlah.”[14]
Golongan Muawiyah juga tidak tinggal diam mereka juga membuat hadith yang menerangkan keutamaannya. Mereka mengaku dengan menisbatkan ungkapan mereka kepada Nabi swa. sebagainama hadith berikut:
الأمناء ثلاثة أنا و جبريل و معاوية أنت منِى يا معاوية وأنا منك
Artinya: “Orang yang terpercaya hanya ada tiga orang saja: Saya, Jibril dan Muawiyah Engkau adalah dariku, dan aku dari dirimu.”[15]
Sementara itu hampir mayoritas ulama hadith tidak menemukan riwayat yang tegas bahwa golongan Khawarij membuat hadith mawdhu’. Bahkan menurut pendapat yang kuat, bahwa latar belakang ketiadaan mereka membuat hadith mawdhu’ adalah keyakinan mereka bahwa pelaku dosa besar adalah kafir, dan berdusta termasuk dosa besar.Bahkan banyak pendapat yang mengukuhkan bahwa mereka merupakan kelompok yang paling jujur dalam meriwayatkan hadith. Dalam hal ini, Abu Daud mengatakan sebagaimana kutip oleh Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib bahwa: “Diantara para pengikut hawa nafsu, tidak ada aliran yang lebih shahih hadithnya disbanding Khawarij”.[16]
2.    Siasat Musuh-musuh Islam
Para musuh islam yang terlibat dalam pemalsuan hadith dikenal dengan kaum zindiq. Kaum zindiq adalah golongan yang berusaha merusak islam dari dalam, dengan berpura-pura masuk islam. Dengan menyatakan masuk islam mereka punya peluang-peluang, seperti menyebarkan fitnah, mengobarkan api permusuhan dikalngan umat islam sendiri, menciptakan keraguan pada masyarakat terhadap ajaran, dan merusak sumber ajaran dengan kebohongan-kebohongan yang mereka ciptakan. Abd al-Karim ibn al-Auja’ yang dihukum mati oleh Muhammad Sulaiman bin Ali, ketika hukuman akan dilakukan, ia mengatakan: “Demi Allah saya telah membuat hadith palsu seabnyak 4.000 hadith”. Hammad bin Zaid mengatakan, bahwa hadith yang dibuat kaum zindiq ini berjumlah 12.000 hadith. Di antara ulama ada yang memandang, bahwa pangkal dari perselisihan umat islam dan timbulnya pemalsuan hadith-hadith sebenarnya dari upaya kaum zindiq.[17]

3.    Fanatisme Golongan, Suku dan Ras
Fanatisme yang berlebihan telah ditunjukkan oleh Daulah Bani Umayyah pada saat itu, ia lebih meng-istimewakan golongan arab dalam segala hal. Orang-orang non arab seperti kaum Mawali tidak pernah diperlakukan sebagaimana layaknya orang Arab. Semua kebijakan yang menyangkut pemerintahan dan kekuasaan dikuasai oleh Orang Arab. Sehingga oleh Idri dikatakan bahwa Dulah Islamiyah identik dengan Daulah ‘Arabiyah secara murni.[18]
Sebagai akibat dari fanatisme yang berlebihan antara orang-orang Arab dan non Arab yang mayoritas dimotori oleh bangsa Persia terhadap golongannya sendiri dengan berusaha keras untuk meningkatkan martabat dan status mereka sehingga satu sama lainnya saling membuat hadith mawdhu’. Misalnya hadith yang dibuat oleh orang Persia sebagai berikut:
إن الكلام حول العرش الفارسية                                                               
Artinya: “Sesungguhnya pembicaraan orang-orang sekitar ‘Arsy  menggunakan bahasa Persia”.[19]
Perbuatan  mereka dengan membuat hadith mawdhu’ dalam rangka mengangkat martabat bangsa Persia dengan mengklaim bahwa bahwa bahasa para malaikat penjaga ‘Arsy adalah bahasa mereka.
Tidak terima terhadap perbuatan mereka kemudian orang-orang Arab juga menyerang dengan membuat hadith mawdhu’ tandingan juga, antara lain:
أبغض الكلام إلى الله الفارسية   والكلام أهل الجنَة العربيَة
Artinya: “Bahasa yang paling dibenci Allah adalah bahsa Persia. Dan bahasa penghuni surga  adalah bahasa Arab. ” [20]
Selain hadith-hadith mawdhu’ yang berkenaan dengan fanatisme golongan suku dan bahasa ada juga yang berkenaan dengan Negara dan iman. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya perpindahan system pemerintahan dari suatu Negara ke Negara yang lain sehingga mendorong munculnya fanatisme dengan membuat hadith mawdhu’.
4.    Fanatisme Madhab Fighi dan Kalam
Pemalsuan hadith juga dilakukan oleh mazhab fiqhi dan teologi, misalnya hadith berikut:                                                    من رفع يده فى الركوع فلا صلاة له
Artinya: “Barang siapa yang mengankat tangannya ketika ruku’, maka tiada shalat baginya”.[21]
Hadith tersebut diatas adalah mawdhu’, ini dibuat dan disebarkan oleh dua orang pendukung fanatik aliran Mazhab Abu Hanifah yaitu: Ma’mun bin Ahmad dan Muhammad ibn Akasyah. Mereka membuat hadith dalam rangka memperkuat dukungan mereka terhadap pendirian Mazhabnya, sehingga tampak kuat karna telah ada dalil pijakan yang berupa hadith.[22]
Dalam masalah ilmu kalam ini, sebagaimana dalam masalah fighi, juga terdapat beberapa mazhab. Karna sikap fanatic dan untuk memperkuat pandangan-pandangan dan kedudukan madzhabnya, para pengikut madzhab ini sering kali membuat hadith mawdhu’.[23] Misalnya antara pandangan Mu’tazilah dan Ahli hadith yang punya pandangan dan pemahaman berbeda tentang qadim dan tidaknya al-Qur’an. Mu’tazilah menganggap itu makluk karna diciptakan, sementara ahli hadith berpendapat bukan makhluk karna kalam Allah termasuk dari salah satu sifat-Nya. Hal ini diperkuat dengan hadith mawdhu’, misalnya:
 كلَ مافي السمواث  والأرض  وما بينهما  فهو مخلوق غير القرأن وسيجيئ  أقوام من أمثى يقولون؛   القرأن مخلوق فمن قاله منهم  فقد كفر با لله العضيم وطلِقت إمرأته من ساعته0
Artinya: “Semua yang ada dilangit dan dibumi dan yang ada diantara keduanya adalah makhluq, kecuali al-Qur’an. Dan aka nada dari umatku yang mengatakan : Al-Qur’an adalah makhluq. Siapa diantara mereka yang mengatakan hal itu, maka ia telah kafir kepada Allah yang Maha Agung, dan istrinya tercerai saat itu juga”.[24]
5.    Pembuatan Cerita
Ketika tugas memberi nasihat kepada ummat dikendalikan oleh orang-orang yang tidak bertaqwa dan tidak takut kepada Allah dan yang mereka perlukan cuma menarik minat pendengar, dapat membawa mereka bertangis-tangisan, mereka pun memalsukan berbagai kisah dan hikayat. Mereka katakan bahwa yang demikian diterima, atau didengar dari Nabi SAW.
Umpamanya, Ibn Qutaibah ketika membicarakan perihal ahli-ahli kisah berkata: “Ketika para qushshah(ahli kisah) berupaya menarik dan membangunkan minat serta perhatian ummat dengan jalan membuat riwayat-riwayat palsu, dan timbul pula hadith mawdhu’. Orang awam memang tertarik sekali hatinya kepada cerita yang menakjubkan, yang tidak dapat dipikir akal atau memilukan hati. Maka ketika mereka menerangkan perihal surga, mereka menerangkan bahwa bidadari itu cantiknya begini, indahnya begini, pinggangnya ramping ditempatkan Allah dalam mahligai yang dibuat dari mutiara intan baiduri. Pada tiap-tiap istana itu terdapat tujuh ratus anjungan. Tiap-tiap anjungan mempunyai tujuh ratus kubah”. [25]
Di antara hadith yang dibuat para pembuat cerita:
من قال لا إله إلا الله خلق الله من كل كلمة طائرا  منقاره من ذهب وريشه من مر جان.
Artinya: “Barang siapa yang mengucapkan La ilaaha illa Allah, maka untuk setiap kata yang diucapkan itu ia telah menciptakan seekor burung yang paruhnya terbuat dari emas dan sayapnya terbuat dari marjan”.[26]
Kelompok ini sangat berani membuat hadith-hadith palsu.
6.    Pendekatan Pada Penguasa
Berbeda dengan yang telah disebutkan diatas, para pembuat hadith mawdhu’ dalam kelompok ini, justru untuk tujuan dunia, yaitu supaya lebih dekat dengan penguasa. Mereka menciptakan hadith-hadithnya untuk hal-hal yang disenangi penguasanya.[27] Salah seorang tokoh yang banyak ditulis dalam kitab-kitab hadith sebagai pemalsu hadith adalah Ghiyats bin Ibrahiim, misalnya matan hadith yang asli adalah:
لاسبق إلا فى خف أو حافر أو نصل
Artinya: “Tidak ada perlombaan kecuali permainan panah, anggar, pacuan kuda.”.[28]
Kemudian Ghiyas menambah kata  pada bagian akhir hadith yaitu : أو جناح (atau menerbangkan burung), dengan mksud agar diberi hadiah atau simpatik dari Khalifah al-Mahdi yang berkuasa pada pemerintahan Bani Abbasiayah(775-785).Dan ternyata atas perbuatan Ghiyats, Khalifah al-Mahdi memberikan uang sepuluh dirham. Namun ketika Ghiyats hendak pergi, al-Mahdi menegurnya dan berkata, “Aku yakin perkataanmu itu adalah dusta atas nama Rasulullah”. Menyadari hal tersebut, saat itu juga Khalifah memerintahkan untuk menyembelih merpatinya.[29]
7.    Keinginan Berbuat Baik Tanpa Dasar Pengetahuan Agama
Kebodohan terhadap ajaran agama tidak jarang menjerumuskan seseorang pada bentuk kesalahan dalam mempraktekkan ajaran agama. Maksud baik bila tidak ditunjang dengan pemahaman yang benar lebih sering berdampak buruk dari pada member manfaat.[30]
Hal itu yang terjadi pada sekelompok orang yang menisbatkan dirinya pada kaum sufi. Mereka sengaja membuat banyak hadith yang isinya menyentuh hati, terkadang dengan maksud baik-untuk mengajak orang berbuat kebajikan dan kembali pada jalan yang benar. Hadith-hadith yang mereka diterima oleh sebagian orang karena fositif thingking dengan kepribadian baik mereka dan prilaku yang selalu menampakkan kesan ahli ibadah dan zuhud, dan kenyataannya memang ahli ibadah.
Dengan kreatifitas seperti itu, mereka menduga bahwa mereka telah berbuat suatu kebajikan dalam agama. Sebaliknya, sesungguhnya mereka telah membuat satu kerusakan dan kerancaun dalam ajaran agama. Berbuat kedustaan terhadap Nabi SAW. tanpa disadari.[31]  
8.    Kultus Individu
Sikap fanatik yang berlebihan pada akhirnya akan membawa pada kultus individu pemimpin politik atau imam mazhab yang bersangkutan. Hal ini terjadi saat pertarungan politik antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan, sehingga menyebabkan sebagian mereka mengkultuskan peminpin-peminpin mereka masing-masing. Seperti kelompok syi’ah yang sangat mengkultuskan Ali bin Abi Thalib. Misalnya:
على خير البشر فمن أبى فقد كفر
Artinya: “Ali adalah sebaik-baik manusia, maka barang siapa yang membangkang terhadapnya, ia kafir”.[32]

D.    Kreteria-kriteria Hadith Mawdhu’
Untuk mengetahui apakah Hadits itu mawdhu’ atau tidak, dapat dilhat dari dua aspek, Sanad(perawi) dan  Matan(redaksi) hadith yang diriwayatkan.
a)    Aspek Sanad(perawi)
Dari aspek ini dapat dilihat dari pengakuan orang yang memalsukannya. Misalnya Imam Bukhari pernah meriwayatkan dalam Kitab Taarikhut Ausath dari 'Umar bin Shub-bin bin 'Imran At-Tamiimy sesungguhnya dia pernah berkata, artinya: Aku pernah mawdhu’kan khutbah Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Maisaroh bin Abdir Rabbik Al-Farisy pernah mengakui bahwa dia sendiri telah memalsukan Hadith-hadith yang berhubung-an dengan Fadhilah Qur'an (Keutamaan Al-Qur'an) lebih dari 70 hadits, yang sekarang banyak diamalkan oleh ahli-ahli Bid'ah. Menurut pengakuan Abu 'Ishmah Nuh bin Abi Maryam bahwa dia pernah memalsukan dari Ibnu Abbas beberapa Hadith yang hubungannya dengan Fadhilah Qur'an satu Surah demi Surah. (Kitab Al-Baa'itsul Hatsiits).[33]
Dengan memperhatikan dan mempelajari tanda-tanda/qorinah yang lain yang dapat menunjukkan bahwa Hadits itu adalah Mawdhu’. Misalnya dengan melihat dan memperhatikan keadaan dan sifat perawi yang meriwayatkan Hadits itu.[34]
b)   Aspek Matan(redaksi)
Pada aspek ini bisa diketahui dari tanda-tanda berikut:
1.      Memiliki makna yang rancu, secara akal sehat sulit diterima bahwa Nabi mengatakan hadith seperti itu.
2.      Bertentangan dengan nash al-Qur’an atau hadith shahih serta ijma’
3.      Bertentangan dengan akal sehat
4.      Terdapat kekacauan atau terasa berat didalam susunannya, baik lafadznya ataupun ditinjau dari susunan bahasa dan Nahwunya (grammarnya).[35]
E.     Kesimpulan
Secara keseluruhan dari hasil tulisan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Hadith mawdhu’ adalah sesuatu yang dibuat secara mengada-ada dan dusta yang kemudian  dinisbatkan kepada Rasulullah SWA. dengan sengaja atau tidak, dengan  tujuan buruk atau baik sekalipun.
2.      Munculnya hadith mawdhu’ ada dua pendapat; pertama menurut Ahmad Amin dan Shalah al-Din ibn Ahmad al-Adhabi, sudah muncul pada masa Rasulullah SWA. Kedua menurut mayoritas ulama hadith, munculnya hadith mawdhu’ bermula dari perseteruan Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, sehingga menurut mereka hadith mawdhu’ sudah terjadi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib.
3.      Faktor-faktor munculnya hadith mawdhu’ disebabkan oleh beberapa hal, antara lain : Pertentangan politik, fanatisme suku dan ras, fanatisme madzhab fiqhi dan kalam, upaya pendekatan terhadap penguasa.
4.      Kreteria-kreteria hadith mawdhu’ dapat diketahui dari sanad atau matannya. Tanda-tanda hadith mawdhu’ pada dalam sanad dapat diketahui dari pengakuan perawi akan kedustaannya. Adanya indikasi yang hampir sama dengan pengakuan pemalsu. Tanda-tanda hadith mawdhu’ pada matan dapat diketahui dengan melihat kekacauan maknanya dan kejanggalan redaksi yang diriwayatkan, serta bertentangan dengan teks-teks al-Qur’an dan As-Sunnah serta akal sehat.
Dengan demikian apapun bentuknya sesuatu yang bukan dari Nabi maka itu tetap dikatakan sebagai hadith mawdhu’ yang tidak bisa dijadikan hujjah dalam pengambilan sebuah keputusan. Akhirnya semua ini sepenuhnya dikembalikan pada pembaca, saran dan kritik senantiasa menjadi sesuatu yang diharapkan demi kesempurnaan karya-karya ilmiyah berikutnya. Amein……..







DAFTAR PUSTAKA
1.      Mifdol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadith, Jakarta: Al-Kautsar 2005.
2.      Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits-Pokok-pokok Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
3.      Idri, Study Hadith, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
4.      Hasani Muhammad bin ‘Alwi al-Makki, al-Minhal al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif, Matbi Sikr, 1402 H.
5.      M. Noor Sulaiman, Antologi Hadits, Jakarta: GP Persada Press, 2009.
6.      Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar ILMU HADITH. Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, Ed.2, 1999.
7.      Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar ILMU HADITH. Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, Ed.3, 2009..
8.      Subhi ash-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu , Bairut: Dar al-Ilm Lil-Malayin, 1977.
9.      Zeid B.Smeer, Ulumul Hadith, Pengantar Study Hadith Praktis, Malang Press, 2008.
10.  Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadith, Jakarta:Gaya Media Pratama, 2001.
11.  Muhammad Ahmad, Ulumul Hadith, Bandung : Pustaka Setia, 2000
12.  G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadith di Mesir, Mizan Bandung: 1999.
13.  Ahmad Husnan, Gerakan Inkaru al-Sunnah dan Jawabannya, Jakarta: Media Dakwah,1984.


[1] Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits-Pokok-pokok Ilmu Hadits, hlm.352.
[2] Ibn ash-Shalah, Abu Amr Usman bin Abd ar-Rahman, Ulumul Hadith, hlm.253.
[3] Ibid, hlm. 353
[4] Idri, Study Hadith, hlm. 247.
[5]Hasani Muhammad bin ‘Alwi al-Makki, al-Minhal al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif, hlm.137
[6] M. Noor Sulaiman, Antologi Hadits, hlm. 72.
[7] Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits-Pokok-pokok Ilmu Hadits, hlm. 364.
[8] Ibid, Idri, hlm.249.
[9] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadith, hlm. 190
[10] M. Noor Sulaiman, Antologi Hadits, hlm. 183.
[11] Ibid, Utang Ranuwijaya, hlm. 190
[12] M. Noor Sulaiman, Antologi Hadits, hlm.185
[13] Ibid, hlm.186.
[14] Teunku Muhammad Hasbi al-Shiddiqiey, Sejarah dan Pengantar ILMU HADITS, hlm.191
[15] M. Noor Sulaiman, Antologi Hadits, hlm. 185.
[16] Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits-Pokok-pokok Ilmu Hadits, hlm.356..
[17] Ibid, Utang Ranuwijaya, hlm. 192
[18] Idri, Study Hadith, hlm.260
[19] Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits-Pokok-pokok Ilmu Hadits, hlm.359.
[20] M. Noor Sulaiman, Antologi Hadits, hlm. 186.
[21] Teunku Muhammad Hasbi al-Shiddiqiey, Sejarah dan Pengantar ILMU HADITS, hlm.196.
[22] Idri, Study Hadith, hlm.262.
[23] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadith, hlm.193.
[24] Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits-Pokok-pokok Ilmu Hadits, hlm.362.
[25] Teunku Muhammad Hasbi al-Shiddiqiey, Sejarah dan Pengantar ILMU HADITS, hlm.195.
[26] Idri, Study Hadith, hlm.263.
[27] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadith, hlm.193
[28] Idri, Study Hadith, hlm.264.
[29] M. Noor Sulaiman, Antologi Hadits, hlm. 188-189.
[30] Zeid B.Smeer, Ulumul Hadith, Pengantar Study Hadith Praktis, hlm.76
[31] Ibid, hlm.77
[32] Idri, Study Hadith, hlm.262
[33] M. Noor Sulaiman, Antologi Hadits, hlm.189-190
[34] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadith, hlm.194.
[35] Zeid B.Smeer, Ulumul Hadith, Pengantar Study Hadith Praktis, hlm.79

Tidak ada komentar :

Posting Komentar