ABSTRAK
Hadith mawdhu’
adalah hadith yang dibuat/diada-adakan oleh seseorang yang dinisbatkan kepada Nabi swa. dengan
tujuan-tujuan tertentu baik buruk atau baik sekalipun. Munculnya hadith mawdhu’
ada dua pendapat; pertama muncul pada masa Nabi Muhammad SAW., namun
pendapat ini lemah karna tidak didukung oleh bukti-bukti historis dan hanya
bersifat dugaan saja. Kedua pendapat mayoritas ulama sudah terjadi pada
masa Khalifah Ali bin Abi Thalib disebabkan oleh beberapa factor : Pertentangan
politik antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, Fanatisme
suku dan ras yang berlebihan yang dilakukan oleh Bangsa Arab dengan Bangsa non
Arab yakni kaum Mawali, Fanatisme tehadap Madzhab, baik yang dilakukan
oleh Madzhab Fighi maupun penganut Madzhab ilmu Kalam, Pendekatan atau cari
muka terhadap penguasa seringkali dilakukan dengan cara membuat hadith mawdhu’.
Kreteria-kreteria hadith mawdhu’ dapat diketahui dengan cara memperhatikan
sanad dan matan hadith.
Kata Kunci : Mawdhu’, munculnya hadith mawdhu’,
factor-faktor, kreteria sanad dan matan.
A.
Definisi Hadith Mawdhu’
Secara etemologis kata Mawdhu’ adalah isim maf’ul dari
fiil madhi :
وضع - يضع - وضعا
Yang menurut bahasa berarti; ألإسقاط (meletakkan
atau menyimpan), ألإفتراء ولإختلاق (mengada-ada atau
membuat-buat), dan ألمتروك ألترك أى (ditinggalkan).[1]
Sedangkan
secara terminologis hadith mawdhu’ diartikan sebagai berikut;
ألمختلق المصنوع المكذوب على رسول اللَه ص م عمداً0
Artinya:
“Hadith yang dibuat-buat atau diciptakan, yang didustakan
atas nama Rasulullah SAW. Secara sengaja”.[2]
Kemudian juga hadith Mawdhu’
diartikan sebagai berikut;
ما نسب إلى رسول
اللَه ص م إختلاقا وكذبا ممَا لم يقله أو يفعله أو يقره0 Artinya:
“Segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah SWA.
Secara dibuat-buat dan dusta padahal beliau tidak
mengatakan, atau melakukan atau menetapkannya”.[3]
Dari beberapa definisi
di atas dapat difahami bahwa apa saja yang dinisbatkan atau disandarkan kepada
Rasulullah SWA, baik yang bersifat positif seperti untuk kepentingan dakwah dan
ibadah, maupun yang bersifat negative seperti yang dibuat secara sengaja untuk
menyesatkan orang atau untuk kepentingan egoisme kelompok, jika Nabi sendiri
tidak menyabdakannya, maka hal itu termasuk hadith Mawdhu’. Definisi
tersebut lebih dipersingkat oleh Idri, namun maksud dan tujuannya sama yaitu :
Hadith Mawdhu’ sesuatu yang dibuat dan dinisbatkan kepada Rasulullah
dengan sengaja atau tidak, dengan tujuan buruk atau baik sekalipun.[4]
Bahkan ada juga sebagian ulama mengatakan bahwa yang termasuk katergori Hadith
ini bukan hanya dinisbatkan pada nabi saja, tetapi juga kepada sahabat dan
tabi’in, sebagaimana pada definisi dibwah ini:
الخبر
المخثلق المكذوب المنسوب إلى رسول الله ص م إفثراءَ عليه أو إلى الصحابي أو إلي
الثابعى0
Artinya:“Berita yang dibuat-buat
yang disandarkan kepada Rasulullah SWA, dengan sengaja berdusta atas nama
beliau atau atas nama shahabat dan tabi’iin” [5]
Hadith Nabi
mempunyai fungsi dan kedudukan yang vital dalam sumber ajaran islam, karna Hadith
juga sebagai sumber hokum setelah al-Qur’an. Namun demikian fakta sejarah telah
menyebutkan bahwa pada awal munculnya agama Islam Hadith Nabi tidak ditulis
secara resmi sebagaimana al-Qur’an, kecuali penulisan-penulisan yang berangkat
atas kehendak pribadi/individualistic. Upaya pembukuan Hadits secara resmi baru
dilaksanakan pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz kholifah ke delapan
dari Dinasti Umayyah. Tindakan Umar bin Abdul Aziz tergolong sangat mulia
dengan mengeluarkan perintah kepada seluruh gubernur yang berkuasa pada saat
itu untuk mengumpulkan dan menyelamatkan kemusnahan dan pemalsuan Hadits. Ada
dua hal penting yang menjadi spirit mengapa Umar mengambil tindakan untuk
melakukan pembukuan Hadits?. Pertama, Ia hawatir akan hilangnya
hadits-hadits seiring dengan meninggalnya para ulama dimedan perang. Kedua:
ia khawatir akan tercampurnya hadits-hadits yang shahih dengan yang mawdhu’.[6]
B.
Awal Mula Terjadinya Hadith
Mawdhu’
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan
munculnya pemalsuan hadith. Menurut Ahmad Amin sebagai mana ditulis oleh Idri
dalam Studi Hadith, bahwa hadith mawdhu’sudah ada sejak masa Rasul masih hidup,
berdasarkan pemahaman terhadap hadith mutawatir yang mengancam terhadap
orang-orang yang berdusta pada Nabi dengan neraka. Hadith yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
من كذَب علىَ فليتبوَأ مقعده من النار
Artinya: “Barang siapa yang dengan sengaja berdusta kepadaku,
maka hendaklah ia menempati tempat
duduknya dineraka”[7]
Menurut Ahmad Amin, hadith tersebut
menggambarkan bahwa kemungkinan pada masa Rasulullah SAW. telah terjadi
pemalsuan hadith. Namun demikian, menurut Idri pendapat Amin ini mengadung kelemahan, sebab
yang dimaksud hanya dugaan yang tersirat dalam hadith tersebut, lagi pula tidak
mempunyai bukti historis dan tidak tercantum dalam kitab-kitab standart
yang berkenaan dengan asbabul urud.[8]
Selain Ahmad Amin ada juga yang berpendapat bahwa hadith mawdhu’ sudah
ada sejak masa Nabi SAW. pendapat ini dikemukakan oleh Shalah al-Din ibn Ahmad
al-Adhabi. Hanya saja, berbeda dengan Amin, bahwa yang dimaksud oleh Shalah
adalah hadith yang bekenaan dengan masalah keduniaan bukan menyangkut keagamaan
berdasarkan hadith yang diriwayatkan oleh al-Thahawi dan al-Thabrani, yang
menjelaskan bahwa pada masa Rasuluullah SAW. ada seseorang yang mengaku telah
diberi wewenang oleh Rasul untuk menyelesaikan suatu masalah disuatu kelompok
masyarakat disekitar Madinah. Kemudian ia melamar seorang gadis penduduk
masyarakat tersebut, tetapi lamaran tersebut ditolak. Masyarakat lalu mengirim
utusan kepada Rasul untuk meneliti kebenaran apa yang dikatakan orang itu.
Ternyata Rasul tidak tidak pernah menyuruh seorang yang mengatasnamakan beliau.
Ternyata Rasul tidak pernah menyuruh seorang yang mengatasnamakan beliau.
Menurut para ulama hadith ini nilainya Dhaif, sehingga tidak bisa
dijadikan hujjah adanya indikasi pemalsuan hadith.[9]
Sementara Pendapat mayoritas ulama hadith,
bahwa pemalsuan hadith sudah terjadi pada masa khlifah yang ke empat Ali bin
Abi Thalib. Alasan mereka adalah keadaan hadith sejak zaman Nabi swa. hingga
sebelum terjadinya pertentangan antara ‘Ali bin abi Thalib dengan Muawiyah bin
Abi Sufyan’ masih terhindar dari pemalsuan. Demikian pula pada masa Abu Bakar
as-Shiddiq, Umar bin al-khottob dan Utsman bin Affan. Hal ini menunjukkan
betapa tingginya kewaspadaan dan kehati-hatian mereka dalam menjaga kemurnian hadith.[10]
Pendapat Ulama hadith ini menjadi pegangan para ulama kontemporer, seperti
Ajjaj al-Khathib, Musthafa al-Siba’I, Nur ad-Din ‘Atar, Muhammad Abu Zahroh,
Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, dan Abd al-Fatah Abu Gadah.[11]
Menurut mereka, pemalsuan hadith itu terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi
Thalib. Mereka beralasan bahwa pada masa itu telah terjadi pertentangan politik
antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan yang cukup serius dan
prestisius. Masing-masing golongan yang bertentangan, selain berusaha saling
mengalahkan juga berupaya mempengaruhi pihak-pihak lain yang tidak terlibat
dalam perpecahan. Salah satu cara yang mereka tempuh ialah dengan membuat hadith
mawdhu’. Motif mereka yang mendorong membuat hadith mawdhu’
diantaranya adalah adanya pertentangan politik, Fantisme suku dan agama,
perbedaan madhab dan teologi dll.
C.
Faktor-faktor Pendorong
Pembuatan Hadith Mawdhu’
Ada beberapa factor penyebab yang mendorong
orang-orang membuat hadith mawdhu’, antara lain untuk kepentingan
politik-politik tertentu, fanatisme golongan dan agama sebagaimana
dilakukan oleh golongan zindiq, untuk mendukung aliran-aliran dalam
ushul al-Din, karna kebingungan yang dialami oleh kalangan ahli tasawwuf,
untuk mendekatkan diri kepada Allah secara berlebih-lebihan, untuk menjilat
atau pendekatan pada penguasa.
1.
Faktor politik
Di antara factor-faktor yang mendorong
seseorang membuat hadith mawdhu’ adalah factor politik. Pertentangan
politik antara kubu Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan yang
didukung oleh pendukung setia masing-masing telah mendorong mereka untuk melakukan
segala cara demi melanggengkan kekuasaan dengan membuat hadith-hadith mawdhu’.
Masing-masing di antara mereka saling mengklim bahwa kelompoknyalah yang paling
layak berkuasa memegang tampuk kepemimpinan. Akibat dari perpecahan politik
ini, maka yang pertama-tama membuat hadith mawdhu’ adalah dari golongan Syi’ah
yang nota-banenya merupakan pendukung setia terhadap Ali bin Abi Thalib.
Ibnu Mubarok pernah mengatakan:
الدين لأهل الحديث والكلام والحيل لأهل
الرَأى والكدب للرَافضة
Artinya: “Agama adalah milik ahli hadith, kalam dan hilah adalah
milik ahl al-ra’yi, dan kedustaan adalah milik kaum Rafidhah”[12]
Contoh hadith mawdhu’ yang dibuat oleh golongan Syi’ah
adalah:
ياعلى إنَ اللَه غفر لك ولذريَتك ولوالديك ولأهلك ولشيعتك
ولمحبى شيعتك
Artinya: “Wahai Ali sesungguhnya Allah telah mengampuni kamu,
keturunanmu, orang tuamu, keluargamu, pengikutmu, dan orang yang menghidupkan
syi’ahmu.”[13]
إذا رأيثم معاويه على منبارى فا قتلوه
Artinya: “Apabila kalian melihat Muawiyah di atas mimbarku maka
bunuhlah.”[14]
Golongan Muawiyah juga tidak tinggal diam
mereka juga membuat hadith yang menerangkan keutamaannya. Mereka mengaku dengan
menisbatkan ungkapan mereka kepada Nabi swa. sebagainama hadith berikut:
الأمناء ثلاثة أنا و جبريل و معاوية أنت منِى يا معاوية وأنا
منك
Artinya: “Orang yang terpercaya hanya ada tiga orang saja: Saya,
Jibril dan Muawiyah Engkau adalah dariku, dan aku dari dirimu.”[15]
Sementara itu hampir mayoritas ulama hadith
tidak menemukan riwayat yang tegas bahwa golongan Khawarij membuat hadith mawdhu’.
Bahkan menurut pendapat yang kuat, bahwa latar belakang ketiadaan mereka membuat
hadith mawdhu’ adalah keyakinan mereka bahwa pelaku dosa besar adalah kafir,
dan berdusta termasuk dosa besar.Bahkan banyak pendapat yang mengukuhkan bahwa
mereka merupakan kelompok yang paling jujur dalam meriwayatkan hadith. Dalam
hal ini, Abu Daud mengatakan sebagaimana kutip oleh Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib
bahwa: “Diantara para pengikut hawa nafsu, tidak ada aliran yang lebih shahih hadithnya
disbanding Khawarij”.[16]
2.
Siasat Musuh-musuh Islam
Para musuh islam yang terlibat dalam
pemalsuan hadith dikenal dengan kaum zindiq. Kaum zindiq adalah
golongan yang berusaha merusak islam dari dalam, dengan berpura-pura masuk
islam. Dengan menyatakan masuk islam mereka punya peluang-peluang, seperti menyebarkan
fitnah, mengobarkan api permusuhan dikalngan umat islam sendiri, menciptakan
keraguan pada masyarakat terhadap ajaran, dan merusak sumber ajaran dengan
kebohongan-kebohongan yang mereka ciptakan. Abd al-Karim ibn al-Auja’ yang
dihukum mati oleh Muhammad Sulaiman bin Ali, ketika hukuman akan dilakukan, ia
mengatakan: “Demi Allah saya telah membuat hadith palsu seabnyak 4.000 hadith”.
Hammad bin Zaid mengatakan, bahwa hadith yang dibuat kaum zindiq ini
berjumlah 12.000 hadith. Di antara ulama ada yang memandang, bahwa pangkal dari
perselisihan umat islam dan timbulnya pemalsuan hadith-hadith sebenarnya dari
upaya kaum zindiq.[17]
3.
Fanatisme Golongan, Suku
dan Ras
Fanatisme
yang berlebihan telah ditunjukkan oleh Daulah Bani Umayyah pada saat itu, ia
lebih meng-istimewakan golongan arab dalam segala hal. Orang-orang non
arab seperti kaum Mawali tidak pernah diperlakukan sebagaimana
layaknya orang Arab. Semua kebijakan yang menyangkut pemerintahan dan
kekuasaan dikuasai oleh Orang Arab. Sehingga oleh Idri dikatakan bahwa Dulah
Islamiyah identik dengan Daulah ‘Arabiyah secara murni.[18]
Sebagai akibat dari fanatisme yang
berlebihan antara orang-orang Arab dan non Arab yang mayoritas
dimotori oleh bangsa Persia terhadap golongannya sendiri dengan berusaha
keras untuk meningkatkan martabat dan status mereka sehingga satu sama lainnya
saling membuat hadith mawdhu’. Misalnya hadith yang dibuat oleh orang Persia
sebagai berikut:
إن الكلام حول العرش الفارسية
Artinya: “Sesungguhnya pembicaraan orang-orang sekitar ‘Arsy menggunakan bahasa Persia”.[19]
Perbuatan
mereka dengan membuat hadith mawdhu’ dalam rangka mengangkat
martabat bangsa Persia dengan mengklaim bahwa bahwa bahasa para malaikat
penjaga ‘Arsy adalah bahasa mereka.
Tidak terima terhadap perbuatan mereka
kemudian orang-orang Arab juga menyerang dengan membuat hadith mawdhu’
tandingan juga, antara lain:
أبغض الكلام
إلى الله الفارسية والكلام أهل الجنَة
العربيَة
Artinya: “Bahasa yang paling dibenci Allah adalah bahsa Persia.
Dan bahasa penghuni surga adalah bahasa
Arab. ” [20]
Selain hadith-hadith mawdhu’ yang berkenaan
dengan fanatisme golongan suku dan bahasa ada juga yang berkenaan dengan Negara
dan iman. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya perpindahan system
pemerintahan dari suatu Negara ke Negara yang lain sehingga mendorong munculnya
fanatisme dengan membuat hadith mawdhu’.
4.
Fanatisme Madhab Fighi
dan Kalam
Pemalsuan hadith juga dilakukan oleh mazhab fiqhi dan
teologi, misalnya hadith berikut:
من رفع يده فى الركوع فلا صلاة له
Artinya: “Barang siapa yang mengankat tangannya ketika ruku’,
maka tiada shalat baginya”.[21]
Hadith tersebut diatas adalah mawdhu’, ini dibuat
dan disebarkan oleh dua orang pendukung fanatik aliran Mazhab Abu Hanifah
yaitu: Ma’mun bin Ahmad dan Muhammad ibn Akasyah. Mereka membuat hadith dalam
rangka memperkuat dukungan mereka terhadap pendirian Mazhabnya, sehingga tampak
kuat karna telah ada dalil pijakan yang berupa hadith.[22]
Dalam masalah ilmu kalam ini, sebagaimana dalam masalah
fighi, juga terdapat beberapa mazhab. Karna sikap fanatic dan untuk
memperkuat pandangan-pandangan dan kedudukan madzhabnya, para pengikut madzhab
ini sering kali membuat hadith mawdhu’.[23]
Misalnya antara pandangan Mu’tazilah dan Ahli hadith yang punya pandangan dan
pemahaman berbeda tentang qadim dan tidaknya al-Qur’an. Mu’tazilah menganggap
itu makluk karna diciptakan, sementara ahli hadith berpendapat bukan
makhluk karna kalam Allah termasuk dari salah satu sifat-Nya. Hal ini
diperkuat dengan hadith mawdhu’, misalnya:
كلَ مافي السمواث والأرض وما
بينهما فهو مخلوق غير القرأن وسيجيئ أقوام من أمثى يقولون؛ القرأن مخلوق
فمن قاله منهم فقد كفر با لله العضيم
وطلِقت إمرأته من ساعته0
Artinya: “Semua yang ada dilangit dan dibumi dan yang ada
diantara keduanya adalah makhluq, kecuali al-Qur’an. Dan aka nada dari umatku
yang mengatakan : Al-Qur’an adalah makhluq. Siapa diantara mereka yang
mengatakan hal itu, maka ia telah kafir kepada Allah yang Maha Agung, dan
istrinya tercerai saat itu juga”.[24]
5.
Pembuatan Cerita
Ketika tugas memberi nasihat kepada ummat
dikendalikan oleh orang-orang yang tidak bertaqwa dan tidak takut kepada Allah
dan yang mereka perlukan cuma menarik minat pendengar, dapat membawa mereka
bertangis-tangisan, mereka pun memalsukan berbagai kisah dan hikayat.
Mereka katakan bahwa yang demikian diterima, atau didengar dari Nabi SAW.
Umpamanya, Ibn Qutaibah ketika membicarakan
perihal ahli-ahli kisah berkata: “Ketika para qushshah(ahli kisah)
berupaya menarik dan membangunkan minat serta perhatian ummat dengan jalan
membuat riwayat-riwayat palsu, dan timbul pula hadith mawdhu’. Orang
awam memang tertarik sekali hatinya kepada cerita yang menakjubkan, yang tidak
dapat dipikir akal atau memilukan hati. Maka ketika mereka menerangkan perihal
surga, mereka menerangkan bahwa bidadari itu cantiknya begini, indahnya begini,
pinggangnya ramping ditempatkan Allah dalam mahligai yang dibuat dari mutiara
intan baiduri. Pada tiap-tiap istana itu terdapat tujuh ratus anjungan.
Tiap-tiap anjungan mempunyai tujuh ratus kubah”. [25]
Di antara hadith yang dibuat para pembuat
cerita:
من قال لا
إله إلا الله خلق الله من كل كلمة طائرا منقاره من ذهب وريشه من مر جان.
Artinya: “Barang siapa yang mengucapkan La ilaaha illa Allah,
maka untuk setiap kata yang diucapkan itu ia telah menciptakan seekor burung
yang paruhnya terbuat dari emas dan sayapnya terbuat dari marjan”.[26]
Kelompok ini sangat berani membuat hadith-hadith palsu.
6.
Pendekatan Pada Penguasa
Berbeda dengan yang telah disebutkan diatas,
para pembuat hadith mawdhu’ dalam kelompok ini, justru untuk tujuan dunia,
yaitu supaya lebih dekat dengan penguasa. Mereka menciptakan hadith-hadithnya
untuk hal-hal yang disenangi penguasanya.[27]
Salah seorang tokoh yang banyak ditulis dalam kitab-kitab hadith sebagai
pemalsu hadith adalah Ghiyats bin Ibrahiim, misalnya matan hadith yang asli
adalah:
لاسبق إلا فى خف أو حافر أو نصل
Artinya: “Tidak
ada perlombaan kecuali permainan panah, anggar, pacuan kuda.”.[28]
Kemudian Ghiyas menambah kata pada bagian akhir hadith yaitu : أو جناح (atau menerbangkan burung), dengan mksud agar diberi hadiah atau simpatik dari Khalifah
al-Mahdi yang berkuasa pada pemerintahan Bani Abbasiayah(775-785).Dan ternyata
atas perbuatan Ghiyats, Khalifah al-Mahdi memberikan uang sepuluh dirham. Namun
ketika Ghiyats hendak pergi, al-Mahdi menegurnya dan berkata, “Aku yakin
perkataanmu itu adalah dusta atas nama Rasulullah”. Menyadari hal tersebut,
saat itu juga Khalifah memerintahkan untuk menyembelih merpatinya.[29]
7.
Keinginan Berbuat Baik
Tanpa Dasar Pengetahuan Agama
Kebodohan terhadap ajaran agama tidak jarang
menjerumuskan seseorang pada bentuk kesalahan dalam mempraktekkan ajaran agama.
Maksud baik bila tidak ditunjang dengan pemahaman yang benar lebih sering
berdampak buruk dari pada member manfaat.[30]
Hal itu yang terjadi pada sekelompok orang
yang menisbatkan dirinya pada kaum sufi. Mereka sengaja membuat banyak
hadith yang isinya menyentuh hati, terkadang dengan maksud baik-untuk mengajak
orang berbuat kebajikan dan kembali pada jalan yang benar. Hadith-hadith yang
mereka diterima oleh sebagian orang karena fositif thingking dengan
kepribadian baik mereka dan prilaku yang selalu menampakkan kesan ahli ibadah
dan zuhud, dan kenyataannya memang ahli ibadah.
Dengan kreatifitas seperti itu,
mereka menduga bahwa mereka telah berbuat suatu kebajikan dalam agama.
Sebaliknya, sesungguhnya mereka telah membuat satu kerusakan dan kerancaun
dalam ajaran agama. Berbuat kedustaan terhadap Nabi SAW. tanpa disadari.[31]
8.
Kultus Individu
Sikap fanatik yang berlebihan pada
akhirnya akan membawa pada kultus individu pemimpin politik atau imam
mazhab yang bersangkutan. Hal ini terjadi saat pertarungan politik antara Ali
bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan, sehingga menyebabkan sebagian
mereka mengkultuskan peminpin-peminpin mereka masing-masing. Seperti kelompok
syi’ah yang sangat mengkultuskan Ali bin Abi Thalib. Misalnya:
على خير
البشر فمن أبى فقد كفر
Artinya: “Ali adalah sebaik-baik manusia, maka barang siapa yang
membangkang terhadapnya, ia kafir”.[32]
D.
Kreteria-kriteria Hadith
Mawdhu’
Untuk mengetahui apakah Hadits itu mawdhu’
atau tidak, dapat dilhat dari dua aspek, Sanad(perawi) dan Matan(redaksi) hadith yang diriwayatkan.
a)
Aspek Sanad(perawi)
Dari aspek ini dapat dilihat dari pengakuan orang yang memalsukannya.
Misalnya Imam Bukhari pernah meriwayatkan dalam Kitab Taarikhut Ausath dari
'Umar bin Shub-bin bin 'Imran At-Tamiimy sesungguhnya dia pernah berkata,
artinya: Aku pernah mawdhu’kan khutbah Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam. Maisaroh bin Abdir Rabbik Al-Farisy pernah mengakui bahwa dia
sendiri telah memalsukan Hadith-hadith yang berhubung-an dengan Fadhilah Qur'an
(Keutamaan Al-Qur'an) lebih dari 70 hadits, yang sekarang banyak diamalkan oleh
ahli-ahli Bid'ah. Menurut pengakuan Abu 'Ishmah Nuh bin Abi Maryam bahwa dia
pernah memalsukan dari Ibnu Abbas beberapa Hadith yang hubungannya dengan
Fadhilah Qur'an satu Surah demi Surah. (Kitab Al-Baa'itsul Hatsiits).[33]
Dengan memperhatikan dan
mempelajari tanda-tanda/qorinah yang lain yang dapat menunjukkan bahwa
Hadits itu adalah Mawdhu’. Misalnya dengan melihat dan memperhatikan
keadaan dan sifat perawi yang meriwayatkan Hadits itu.[34]
b) Aspek Matan(redaksi)
Pada aspek ini bisa diketahui dari
tanda-tanda berikut:
1.
Memiliki
makna yang rancu, secara akal sehat sulit diterima bahwa Nabi mengatakan hadith
seperti itu.
2.
Bertentangan dengan nash
al-Qur’an atau hadith shahih serta ijma’
3.
Bertentangan dengan akal sehat
4.
Terdapat
kekacauan atau terasa berat didalam susunannya, baik lafadznya ataupun ditinjau
dari susunan bahasa dan Nahwunya (grammarnya).[35]
E.
Kesimpulan
Secara keseluruhan
dari hasil tulisan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Hadith mawdhu’ adalah sesuatu
yang dibuat secara mengada-ada dan dusta yang kemudian dinisbatkan kepada Rasulullah SWA. dengan sengaja
atau tidak, dengan tujuan buruk atau
baik sekalipun.
2.
Munculnya hadith mawdhu’
ada dua pendapat; pertama menurut Ahmad Amin dan Shalah al-Din ibn Ahmad
al-Adhabi, sudah muncul pada masa Rasulullah SWA. Kedua menurut mayoritas
ulama hadith, munculnya hadith mawdhu’ bermula dari perseteruan Ali bin
Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, sehingga menurut mereka hadith mawdhu’
sudah terjadi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib.
3.
Faktor-faktor munculnya hadith mawdhu’
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain : Pertentangan politik, fanatisme
suku dan ras, fanatisme madzhab fiqhi dan kalam, upaya pendekatan
terhadap penguasa.
4.
Kreteria-kreteria hadith mawdhu’
dapat diketahui dari sanad atau matannya. Tanda-tanda hadith mawdhu’
pada dalam sanad dapat diketahui dari pengakuan perawi akan
kedustaannya. Adanya indikasi yang hampir sama dengan pengakuan pemalsu.
Tanda-tanda hadith mawdhu’ pada matan dapat diketahui dengan
melihat kekacauan maknanya dan kejanggalan redaksi yang diriwayatkan, serta
bertentangan dengan teks-teks al-Qur’an dan As-Sunnah serta akal sehat.
Dengan demikian apapun bentuknya sesuatu yang bukan dari Nabi maka
itu tetap dikatakan sebagai hadith mawdhu’ yang tidak bisa dijadikan
hujjah dalam pengambilan sebuah keputusan. Akhirnya semua ini sepenuhnya
dikembalikan pada pembaca, saran dan kritik senantiasa menjadi sesuatu yang
diharapkan demi kesempurnaan karya-karya ilmiyah berikutnya. Amein……..
DAFTAR PUSTAKA
1.
Mifdol
Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadith, Jakarta: Al-Kautsar 2005.
2.
Muhammad
‘Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits-Pokok-pokok Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1998.
3.
Idri,
Study Hadith, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
4.
Hasani
Muhammad bin ‘Alwi al-Makki, al-Minhal al-Lathif fi Ushul al-Hadits
al-Syarif, Matbi Sikr, 1402 H.
5.
M.
Noor Sulaiman, Antologi Hadits, Jakarta: GP Persada Press, 2009.
6.
Muhammad
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar ILMU HADITH. Semarang: PT.
PUSTAKA RIZKI PUTRA, Ed.2, 1999.
7.
Muhammad
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar ILMU HADITH. Semarang: PT.
PUSTAKA RIZKI PUTRA, Ed.3, 2009..
8.
Subhi
ash-Shalih, Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu , Bairut: Dar al-Ilm
Lil-Malayin, 1977.
9.
Zeid
B.Smeer, Ulumul Hadith, Pengantar Study Hadith Praktis, Malang Press,
2008.
10.
Utang
Ranuwijaya, Ilmu Hadith, Jakarta:Gaya Media Pratama, 2001.
11.
Muhammad
Ahmad, Ulumul Hadith, Bandung : Pustaka Setia, 2000
12.
G.H.A.
Juynboll, Kontroversi Hadith di Mesir, Mizan Bandung: 1999.
13.
Ahmad
Husnan, Gerakan Inkaru al-Sunnah dan Jawabannya, Jakarta: Media
Dakwah,1984.
[4]
Idri, Study Hadith, hlm. 247.
[5]Hasani
Muhammad bin ‘Alwi al-Makki, al-Minhal al-Lathif fi Ushul al-Hadits
al-Syarif, hlm.137
[6] M. Noor Sulaiman, Antologi Hadits, hlm. 72.
[9]
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadith, hlm. 190
[11]
Ibid, Utang Ranuwijaya, hlm. 190
[14]
Teunku Muhammad Hasbi al-Shiddiqiey, Sejarah dan Pengantar ILMU HADITS,
hlm.191
[15] M.
Noor Sulaiman, Antologi Hadits, hlm. 185.
[16]
Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits-Pokok-pokok Ilmu Hadits,
hlm.356..
[18]
Idri, Study Hadith, hlm.260
[22]
Idri, Study Hadith, hlm.262.
[24]
Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits-Pokok-pokok Ilmu Hadits,
hlm.362.
[27]
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadith, hlm.193
[33] M.
Noor Sulaiman, Antologi Hadits, hlm.189-190
[34]
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadith, hlm.194.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar