PEMBELAJARAN BERBASIS LINGKUNGAN;
(Sebuah
Telaah Kritis Terhadap Teori
Belajar Vygotsky)
Oleh
: A s i s, S.H.I, M.Pd.I
(Mahasiswa Pasca Sajana Sunan Ampel Surabaya angkatan 2010 dan
saat ini menjadi guru tetap di LPI Yayasan An-Najah I Karduluk, Pragaan,
Sumenep, HP: 0819383076734, e-mail; fely.ajiz@gmail.com)
Abstraks
Teori belajar yang
dianggap lebih mampu mengakomodasi tuntutan sociocultural-revolution atau gaya
belajar berbasis lingkungan adalah teori belajar yang dikembangkan oleh
Vygotsky. Konsep teori Vygotsky berkutat pada tiga hal:
Pertama Hukum Genetik
tentang Perkembangan (Genetic Law of Development).
Setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang melewati dua aturan,
yaitu tataran sosial lingkungannya dan tataran psikologis yang ada pada
dirinya. Kedua Zona
Perkembangan Proksimal (Zone of Proximal Development), perkembangan kemampuan
seseorang dapat dibedakan ke dalam dua tingkat, yaitu tingkat perkembangan
aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual adalah
kemampuan seseorang untuk menyelesaikan berbagai masalah secara mandiri. Ini
disebut sebagai kemampuan intramental. Sedangkan tingkat perkembangan potensial
adalah kemampuan seseorang untuk menyelesaikan masalah ketika di bawah
bimbingan orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih
kompeten. Ini disebut sebagai kemampuan intermental. Jarak antara keduanya,
yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial ini
disebut zona perkembangan proksimal. Ketiga Mediasi, yakni Mediator
yang diperankan lewat tanda maupun lambang adalah kunci utama memahami
proses-proses sosial dan psikologis. Ada dua jenis mediasi, yaitu metakognitif
dan mediasi kognitif. Media metakognitif adalah penggunaan alat-alat semiotic
yang bertujuan untuk melakukan self regulation (pengaturan diri) yang mencakup
self planning, self monitoring, self checking, dan self evaluation. Sedangkan
media kognitif adalah penggunaan alat-alat kognitif untuk memecahkan masalah
yang berhubungan dengan pengetahuan tertentu.
Kata Kunci :
Lev Vygotsky, Teori belajar, sosio-cultural, Hukum Genetik, Zona Proksimal,
Mediasi.
A.
Pendahuluan
Mencermati perubahan kehidupan masyarakat dewasa ini
dengan maraknya berbagai problem sosial seperti ancaman disintegrasi yang
disebabkan oleh fanatisme dan primordialisme, dan di lain pihak adanya tuntutan
pluralisme dan juga ada upaya membentuk NII yang akhir-akhir ini menjadi isu
Nasional sehingga harus ada pencucian otak dan lain sebagainya. Perubahan
struktur dan lunturnya nilai-nilai kekeluargaan, serta merebaknya kejahatan
yang disebabkan oleh lemahnya modal sosial mendorong mereka yang bertanggung
jawab di bidang pendidikan untuk mengkaji ulang paradigma pendidikan dan
pembelajaran yang menjadi acuan selama ini. Tentu saja pendidikan bukan
satu-satunya lembaga yang harus bertanggung jawab untuk mengatasi semua masalah
tersebut. Namun pendidikan mempunyai kontribusi besar dalam upaya mengatasi
berbagai persoalan sosial.
Aliran behavioristik yang banyak
digunakan dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran selama ini kurang dapat
menjawab masalah-masalah sosial. Pendekatan ini banyak dianut dalam
praktek-praktek pendidikan dan pembelajaran mulai dari pendidikan tingkat yang
paling rendah hingga pendidikan tinggi, namun ternyata tidak mampu menjawab
masalah-masalah dan tuntutan kehidupan global. Hasil pendidikan tidak mampu
menumbuhkembangkan anak-anak untuk lebih menghargai perbedaan dalam konteks
sosial budaya yang beragam. Mereka kurang mampu berpikir kreatif, kritis dan
produktif, tidak mampu mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan berkolaborasi,
serta pengelolaan diri(Sri Hayati, 2007)
Pendekatan kognitif dalam belajar dan
pembelajaran yang ditokohi oleh Piaget yang kemudian berkembang ke dalam aliran
konstruktivistik juga masih dirasakan kelemahannya. Teori ini bila dicermati
ada beberapa aspek yang dipandang dapat menimbulkan implikasi kotraproduktif
dalam kegiatan pembelajaran, karena lebih mencerminkan ideologi individualisme
dan gaya belajar sokratik yang lazim dikaitkan dengan budaya Barat (B.R.
Hergenhanhn dan Matthew H. Olson,2008). Pendekatan ini kurang sesuai dengan
tuntutan revolusi-sosiokultural yang berkembang akhir-akhir ini.
Teori belajar yang dianggap lebih mampu
mengakomodasi tuntutan sociocultural-revolution
atau gaya belajar berbasis
lingkungan adalah teori belajar yang dikembangkan oleh Vygotsky.
Dikemukakan bahwa peningkatan fungsi-fungsi mental seseorang terutama berasal
dari kehidupan sosial atau kelompoknya, dan bukan sekedar dari individu itu
sendiri(Sumiati & Asra, 2007). Teori Vygotsky sebenarnya lebih tepat
disebut sebagai pendekatan ko-konstruktivisme.
Teori-teori utama Vygotsky yaitu genetic
low of development, zona of proximal development, dan mediasi, mampu
membuktikan bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar
sosial-budaya dan sejarahnya. Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif
seseorang seturut dengan teori sociogenesis
. Dimensi kesadaran sosial bersifat primer sedangkan dimensi individual
bersifat sekunder.
B.
Teori Utama Vygotsky
1. Biografi Singkat
Vygotsky
Nama lengkapnya adalah Lev
Semyonovich Vygotsky. Ia dilahirkan di salah satu kota Tsarist, Russia,
tepatnya pada pada 17 November 1896, dan berkuturunan Yahudi. Ia tertarik pada
psikologi saat berusia 28 tahun. Sebelumnya, ia lebih menyukai dunia sastra.
Awalnya, ia menjadi guru sastra di sebuah sekolah, namum pihak sekolah juga
memintanya untuk mengajarkan psikologi. Padahal, ia sama sekali tidak pernah
mengenyam pendidikan formal di fakultas psikologi sebelumnya. Namun, inilah
skenario yang membuatnya menjadi tertarik untuk menekuni psikologi, hingga
akhirnya ia melanjutkan kuliah di program studi psikologi Moscow Institute of
Psychology pada tahun 1925. Judul disertasinya mengenai ”Psychology of Art”.
Lev Vygotsky adalah seorang psikolog yang berasal dari Rusia dan hidup pada
masa revolusi Rusia. Vygotsky dalam menelurkan pemikiran-pemikirannya di dunia
psikologi kerap menghadapi rintangan oleh pemerintah Rusia saat itu.
Perkembangan pemikirannya meluas setelah ia wafat pada tahun 1934, dikarenakan
menderita penyakit TBC. Vygotsky pun sering dihubungkan dengan psikolog Swiss
bernama Piaget. Lahir pada masa yang sama dengan Piaget, seorang psikolog yang
juga mempunyai keyakinan bahwa keaktifan anak yang membangun pengetahuan
mereka. Vygotsky meninggal dalam usia yang cukup muda, yaitu ketika masih
berusia tigapuluh tujuh tahun.
2.
Teori Belajar Vygotsky
Teori
belajar dan pembelajaran yang anggap mampu mengakomodasi tuntutan sociocultural-revolution ini adalah
pandangan yang dikemukakan oleh Lev
Vygotsky. Ia mengatakan bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari
latar sosial-budaya dan sejarahnya. Artinya, untuk memahami pikiran seseorang
bukan dengan cara menelusuri apa yang ada di balik otaknya dan pada kedalaman
jiwanya, melainkan dari asal-usul tindakan sadarnya, dari interaksi sosial yang
dilatari oleh sejarah hidupnya (Moll & Greenberg, 1990). Pandangan ini
sangat bertolak belakang dengan teori belajar Natifisme yang dipelopori oleh
Schopenhover, dimana teori ini sama sekali menafikan pengaruh interaksi
individu dengan lingkungan. Karna
menurutnya manusia akan berkembang seperti apa sangat tergantung dari
pembawaannya. Jika pembawaan pandai akan menjadi manusia yang pintar dan jika
pembawaannya bodoh , maka akan menjadi bodoh.
Perkembangan manusia bukan dipengaruhi
oleh orang lain, lingkungan, budaya, dan termasuk juga pendidikan.
Perkembangan manusia telah ada bersama pembawaan sejak lahir(Moh. Padil &
Trio Supriyanto, 2007).
Vygotsky lebih
lanjut menjelaskan teorinya bahwa peningkatan fungsi-fungsi mental seseorang
berasal dari kehidupan sosial atau kelompoknya, dan bukan dari individu itu
sendiri. Interaksi sosial demikian antara lain berkaitan erat dengan
aktivitas-aktivitas dan bahasa yang dipergunakan. Kunci utama untuk memahami
proses-proses sosial-lingkungan dan
psikologis manusia adalah tanda-tanda atau lambang yang berfungsi sebagai
mediator (Wertsch, 1990). Tanda-tanda atau lambang tersebut merupakan produk
dari lingkungan sosio-kultural di mana
seseorang berada.
Mekanisme
teori yang digunakannya untuk menspesifikasikan hubungan antara pendekatan
sosio-kultural dan pemfungsian mental
didasarkan pada tema mediasi semiotik, yang artinya adalah tanda-tanda atau
lambang-lambang beserta makna yang terkandung di dalamnya berfungsi sebagai
penengah antara rasionalitas dalam pendekatan sosio-kultural dan manusia
sebagai tempat berlangsungnya proses mental (Moll, 1994).
Atas dasar
pemikiran Vygotsky, Moll dan Greenberg (dalam Moll, 1994) melakukan studi
etnografi dan menemukan adanya jaringan-jaringan erat, luas, dan kompleks di
dalam dan di antara keluarga-keluarga. Jaringan-jaringan tersebut berkembang
atas dasar confianza yang membentuk
kondisi sosial sebagai tempat penyebaran dan pertukaran pengetahuan,
ketrampilan, dan nilai-nilai sosial budaya. Anak-anak memperoleh berbagai
pengetahuan dan ketrampilan melalui interaksi sosial sehari-hari dengan
lingkungan yang mengitarinya. Mereka terlibat secara aktif dalam interaksi
sosial dalam keluarga untuk memperoleh dan juga menyebarkan
pengetahuan-pengetahuan yang telah dimiliki. Ada suatu kerja sama di antara
anggota keluarga dalam interaksi tersebut.
Menurut
Vygotsky, perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang seturut
dengan teori sociogenesis. Dimensi
kesadaran sosial bersifat primer, sedangkan dimensi individualnya bersifat
derivatif atau merupakan turunan dan besifat skunder (Palincsar, Wertsch &
Tulviste, dalam Supratiknya, 2002). Artinya, pengetahuan dan perkembangan
kognitif individu berasal dari sumber-sumber sosial di luar dirinya. Hal ini
tidak berarti bahwa individu bersikap pasif dalam perkembangan kognitifnya,
tetapi Vygotsky juga menekankan pentingnya peran aktif seseorang dalam
mengkonstruksi pengetahuannya. Maka teori Vygotsky sebenarnya lebih tepat
disebut dengan pendekatan ko-konstruktivisme.
Maksudnya, perkembangan kognitif seseorang disamping ditentukan oleh individu
sendiri secara aktif, juga oleh lingkungan sosial yang aktif pula.
Adapun
teori-teori utama Vygotsky yang seturut dengan konsep-konsep penting teori sosiogenesis
tentang perkembangan kognitif revolusi-sosiokultural
dalam teori belajar dan pembelajaran ada tiga yaitu; Pertama Hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development), Kedua Zona
Perkembangan Proksimal (zone of proximal
development), dan Ketiga Mediasi.
a.
Hukum genetik tentang
perkembangan (genetic law of development)
Menurut Vygotsky, setiap kemampuan seseorang
akan tumbuh dan berkembang melewati dua tataran, yaitu;
1.
Tataran
sosial tempat orang-orang membentuk lingkungan sosialnya (dapat dikategorikan
sebagai interpsikologis atau intermental), dan
2.
Tataran
psikologis di dalam diri orang yang bersangkutan (dapat dikategorikan sebagai
intrapsikologis atau intramental).
Pandangan teori ini
menempatkan intermental atau lingkungan sosial sebagai faktor primer
dan konstitutif terhadap pembentukan
pengetahuan serta perkembangan kognitif seseorang. Dikatakannya bahwa
fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi dalam diri seseorang akan muncul dan
berasal dari kehidupan sosialnya. Sementara itu fungsi intramental dipandang
sebagai derivasi atau keturunan yang tumbuh atau terbentuk melalui penguasaan
dan internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut.
Pada mulanya anak
berpartisipasi dalam kegiatan sosial tertentu tanpa memahami maknanya.
Pemaknaan atau konstruksi pengetahuan baru muncul atau terjadi melalui proses
internalisasi. Namun internalisasi yang dimaksud oleh Vygotsky bersifat
transformatif, yaitu mampu memunculkan perubahan dan perkembangan yang tidak
sekedar berupa transfer atau pengalihan. Maka belajar dan berkembang merupakan
satu kesatuan dan saling menentukan.
b.
Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development)
Vygotsky juga mengemukakan
konsepnya tentang Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development). Menurutnya, perkembangan kemampuan
seseorang dapat dibedakan ke dalam dua tingkat, yaitu tingkat perkembangan
aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual tampak
dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan
berbagai masalah secara mandiri. Ini disebut sebagai kemampuan intramental.
Sedangkan tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk
menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika di bawah bimbingan orang
dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten. Ini
disebut sebagai kemampuan intermental. Jarak antara keduanya, yaitu
tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial ini disebut zona
perkembangan proksimal.
Zona perkembangan proksimal
diartikan sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan yang belum matang yang
masih berada pada proses pematangan. Ibaratnya sebagai embrio, kuncup atau
bunga, yang belum menjadi buah. Tunas-tunas perkembangan ini akan menjadi matang
melalui interaksinya dengan orang dewasa atau kolaborasi dengan teman sebaya
yang lebih kompeten. Untuk menafsirkan konsep zona perkembangan proksimal ini
dengan menggunakan scaffolding
interpretation, yaitu memandang zona perkembangan proksimal sebagai
perancah, sejenis wilayah penyangga atau batu loncatan untuk mencapai taraf
perkembangan yang semakin tinggi.
Gagasan Vygotsky tentang zona
perkembangan proksimal ini mendasari perkembangan teori belajar dan
pembelajaran untuk meningkatkan kualitas dan mengoptimalkan perkembangan
kognitif anak. Beberapa konsep kunci yang perlu dicatat adalah bahwa
perkembangan dan belajar bersifat interdependen atau saling terkait,
perkembangan kemampuan seseorang bersifat context
dependent atau tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial, dan sebagai
bentuk fundamental dalam belajar adalah partisipasi dalam kegiatan sosial.
Berpijak pada konsep zona
perkembangan proksimal, maka sebelum terjadi internalisasi dalam diri anak,
atau sebelum kemampuan intramental terbentuk, anak perlu dibantu dalam proses
belajarnya. Orang dewasa dan/atau teman sebaya yang lebih kompeten perlu
membantu dengan berbagai cara seperti memberikan contoh, memberikan feedback, menarik kesimpulan, dan
sebagainya dalam rangka perkembangan kemampuannya.
c.
Mediasi
Menurut Vygotsky, kunci utama
untuk memahami proses-proses sosial dan psikologis adalah tanda-tanda atau
lambang-lambang yang berfungsi sebagai mediator. Tanda-tanda atau
lambang-lambang tersebut merupakan produk
dari lingkungan sosio-kultural di mana seseorang berada. Semua perbuatan
atau proses psikologis yang khas manusiawi dimediasikan dengan psychological tools atau alat-alat
psikologis berupa bahasa, tanda dan lambang, atau semiotika.
Dalam kegiatan pembelajaran,
anak dibimbing oleh orang dewasa atau oleh teman sebaya yang lebih kompeten
untuk memahami alat-alat semiotik ini. Anak mengalami proses internalisasi yang
selanjutnya alat-alat ini berfungsi sebagai mediator bagi proses-proses
psikologis lebih lanjut dalam diri anak.
Mekanisme hubungan antara pendekatan sosio-kultural dan fungsi-fungsi
mental didasari oleh tema mediasi semiotik, artinya tanda-tanda atau
lambang-lambang beserta makna yang terkandung di dalamnya berfungsi sebagai
penghubung antara rasionalitas sosio-kultural (intermental) dengan
individu sebagai tempat berlangsungnya proses mental (intramental)
(Wertsch, 1990). Ada beberapa elemen yang dikemukakan oleh Bakhtin untuk
memperluas pendapat Vygotsky. Elemen-elemen tersebut terdiri dari ucapan, bunyi
suara, tipe percakapan sosial dan dialog, di mana secara kontekstual
elemen-elemen tersebut berada dalam batasan sejarah, kelembagaan, budaya dan
faktor-faktor individu.
Ada dua jenis mediasi, yaitu
mediasi metakognitif dan mediasi kognitif (Supratiknya, 2002). Mediasi metakognitif
adalah penggunaan alat-alat semiotik yang bertujuan untuk melakukan self-regulation(pengaturan diri) yang
mencakup self-planning, self-monitoring,
self-checking, dan self-evaluating.
Mediasi metakognitif ini berkembang dalam komunikasi antar pribadi. Selama
menjalani kegiatan bersama, orang dewasa atau teman sebaya yang lebih kompeten
biasa menggunakan alat-alat semiotik tertentu untuk membantu mengatur tingkah
laku anak. Selanjutnya anak akan menginternalisasikan alat-alat semiotik ini
untuk dijadikan sarana regulasi diri.
Mediasi kognitif adalah penggunaan
alat-alat kognitif untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan pengetahuan
tertentu atau subject-domain problem.
Mediasi kognitif bisa berkaitan dengan konsep spontan (yang bisa salah) dan
konsep ilmiah (yang lebih terjamin kebenarannya). Konsep-konsep ilmiah yang
berhasil diinternalisasikan anak akan berfungsi sebagai mediator dalam
pemecahan masalah. Konsep-konsep ilmiah dapat berbentuk pengetahuan deklaratif (declarative knowledge) yang kurang
memadai untuk memecahkan berbagai persoalan, dan pengetahuan prosedural (procedural knowledge) berupa metode atau strategi untuk memecahkan masalah.
Menurut Vygotsky, untuk membantu anak mengembangkan pengetahuan yang
sungguh-sungguh bermakna, dengan cara memadukan antara konsep-konsep dan
prosedur melalui demonstrasi dan praktek.
Berdasarkan pada teori Vygotsky di atas, maka akan diperoleh keuntungan
jika:
a. Anak memperoleh kesempatan yang luas
untuk mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau potensinya melalui
belajar dan berkembang.
b. Pembelajaran perlu lebih dikaitkan dengan
tingkat perkembangan potensialnya dari pada tingkat perkembangan aktualnya.
c. Pembelajaran lebih diarahkan pada
penggunaan strategi untuk mengembangkan kemampuan intermentalnya dari pada
kemampuan intramentalnya.
d. Anak diberi kesempatan yang luas untuk
mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya dengan
pengetahuan prosedural yang dapat digunakan untuk melakukan tugas-tugas dan
memecahkan masalah.
e. Proses belajar dan pembelajaran tidak
sekedar bersifat transferal tetapi lebih merupakan ko-konstruksi, yaitu suatu proses mengkonstruksi pengetahuan atau
makna baru secara bersama-sama antara semua pihak yang terlibat di dalamnya(Asri
Budiningsih, 2004).
3.
Implikasi Teori Belajar Vygotsky Dalam Pembelajaran
Gagasan Vygotsky mengenai reconstruction of knowledge in social
setting bila diterapkan dalam konteks pembelajaran, guru perlu
memperhatikan hal-hal berikut. Pada setiap perencanaan dan implementasi
pembelajaran perhatian guru harus dipusatkan kepada kelompok anak yang tidak
dapat memecahkan masalah belajar sendiri, yaitu mereka yang hanya dapat solve problems with help. Guru perlu menyediakan berbagai jenis dan
tingkatan bantuan (helps) yang dapat
memfasilitasi anak agar mereka dapat memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
Dalam kosa kata Psikologi Kognitif, bantuan-bantuan ini dikenal sebagai cognitive scaffolding. Bantuan-bantuan
tersebut dapat dalam bentuk pemberian contoh-contoh, petunjuk atau pedoman
mengerjakan, bagan/alur, langkah-langkah atau prosedur melakukan tugas,
pemberian balikan, dan sebagainya.
Bimbingan atau bantuan dari
orang dewasa atau teman yang lebih kompeten sangat efektif untuk meningkatkan
produktifitas belajar. Bantuan-bantuan tersebut tentunya harus sesuai dengan
konteks sosio-kultural atau karakteristik anak. Bimbingan oleh orang dewasa
atau oleh teman sebaya yang lebih kompeten bermanfaat untuk memahami alat-alat
semiotik, seperti bahasa, tanda, dan lambang-lambang. Anak mengalami proses
internalisasi yang selanjutnya alat-alat ini berfungsi sebagai mediator bagi
proses-proses psikologis lebih lanjut dalam diri anak. Maka bentuk-bentuk pembelajaran
kooperatif-kolaboratif, serta pembelajaran kontekstual sangat tepat diterapkan.
Kelompok anak yang cannot solve problem meskipun telah
diberikan berbagai bantuan, perlu diturunkan ke kelompok yang lebih rendah
kesiapan belajarnya sehingga setelah diturunkan, mereka juga berada pada zone of proximal development nya sendiri
dan, oleh karena itu, siap memanfaatkan bantuan atau scaffolding yang disediakan. Sedangkan kelompok yang telah mampu solve problems independently harus ditingkatkan tuntutannya, sehingga
tidak perlu buang-buang waktu dengan tagihan belajar yang sama bagi kelompok
anak yang ada dibawahnya.
Dengan pengkonsepsian
kesiapan belajar demikian, maka pemahaman tentang karakteristik siswa yang
berhubungan dengan sosio-kultural dan kemampuan awalnya sebagai pijakan dalam
pembelajaran perlu lebih dicermati artikulasinya, sehingga dapat dihasilkan
perangkat lunak pembelajaran yang benar-benar menantang namun tetap produktif
dan kreatif.
4.
Analisa Kritis Terhadap Teori Vigotsky
Setiap teori
sudah pasti ada kekurangan dan
kelebihannya, maka dari itu seorang guru harus tepat memilih dan mengatur
strategi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Diharapkan dalam upaya menerapkan teori-teori tersebut dalam praktek-praktek
pembelajaran, guru dapat dengan bijaksana memadukan (eklektik) atau
memilih teori yang paling sesuai dengan tujuan dan materi belajar,
karakteristik peserta belajar yang dihadapi, serta konteks di mana kegiatan
belajar berlangsung.
Teori
belajar berbasis lingkungan Lev Vygotsky yang anggap mampu mengakomodasi sociocultural-revolution menurut hemat
penulis masih kurang lengkap. Sebab teori ini berpandangan bahwa perkembangan
manusia hanya berfokus pada faktor sosio-kultural saja, dan tidak
mempertimbangkan perkembangan biologis anak terutama perkembangan kematangan
fisik anak di masa-masa pertumbuhan. Vygotsky hanya menganggap faktor biologis
sebagai ”bahan baku/bahan dasar” dan tidak menjelaskan pengaruh perubahan
biologis pada kehidupan sosiokultural individu.
Alangkah
lebih lengkapnya teori ini menurut hemat penulis mana kala memadukan dua faktor
yakni faktor kematangan fisik yang merupakan pembawaan dari dalam dirinya dan
faktor yang terkontruksi dari lingkungannya. Penulis sepakat dengan Supratiknya,
sebagaimana mengutip pandangan Palincsar, Wertsch & Tulviste, Artinya, bahwa
sekalipun pengetahuan dan perkembangan kognitif individu berasal dari sumber-sumber
sosial di luar dirinya, hal ini tidak
berarti bahwa individu bersikap pasif dalam perkembangan kognitifnya, tetapi
juga menekankan pentingnya peran aktif seseorang dalam mengkonstruksi
pengetahuannya. Maka teori Vygotsky sebenarnya lebih tepat disebut dengan
pendekatan ko-konstruktivisme.
Maksudnya, perkembangan kognitif seseorang disamping ditentukan oleh individu
sendiri secara aktif, juga oleh lingkungan sosial yang aktif pula.
Dengan kata
lain bahwa kematangan sesorang tidak hanya ditentukan oleh lingkungan dimana ia
berada, tetapi juga dari faktor kematangan diri berdasarkan pembawaan sejak
lahir.
C.
Kesimpulan
Pembelajaran berbasis pada
lingkungan merupakan hal yang strategis yang seyogyanya harus dilaksanakan
terutama pada jenjang pendidikan dasar. Karna pada jenjang inilah struktur
kognitif anak dapat terujud melalui adanya informasi, transpormasi, dan
penggunaan. Interaksi antara individu dan lingkungan akan terus berlangsung
sejalan dengan adanya pemahaman dan persepsi baru mengenai lingkungan tersebut.
Dari tulisan singkat ini
dapat disimpulkan bahwa konsep teori belajar berbasis lingkungan yang digagas
oleh Vygotsky termasuk salah satu pembelajaran alternatif yang harus di
terapkan dalam dunia pendidikan dimasa-masa sekarang. Mengingat pembelajaran
yang terlalu berorientasi kepada penguasaan materi pelajaran, nampaknya kurang
mampu mengangkat kwalitas pendidikan kita, baik dari segi hasil maupun proses
belajar. Ada tiga teori utama yang ditawarkan Vygotsky barangkali bisa
dijadikan pijakan dalam pembelajaran yakni; Hukum genetik tentang
perkembangan (genetic law of
development), Zona Perkembangan Proksimal (zone of proximal development), dan Mediasi.
Berdasarkan teori Vygotsky
maka dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan yang luas
untuk mengembangkan zona perkembangan proximalnya atau potensinya melalui
belajar dan berkembang. Guru perlu menyediakan berbagai jenis dan tingkatan
bantuan (helps / cognitive scaffolding) yang
dapat memfasilitasi anak agar mereka dapat memecahkan permasalahan yang
dihadapinya. Bantuan dapat dalam bentuk contoh, pedoman, bimbingan orang lain
atau teman yang lebih kompeten. Bentuk-bentuk pembelajaran
kooperatif-kolaboratif serta belajar kontekstual sangat tepat digunakan.
Sedangkan anak yang telah mampu belajar sendiri perlu ditingkatkan tuntutannya,
sehingga tidak perlu menunggu anak yang berada dibawahnya. Dengan demikian
diperlukan pemahaman yang tepat tentang karakteristik siswa dan budayanya
sebagai pijakan dalam pembelajaran.
D.
Daftar Pustaka
Asri Budiningsih C, Silabi Mata Kuliah,
Belajar dan Pembelajaran (Jurusan Kurikulum dan teknologi pendidikan FIP UNY,
2010)
Asri Budiningsih C. Belajar dan
Pembelajaran. (Jakarta: PT Rineka Cipta,2004)
B.R. Hergenhanhn dan Matthew H. Olson,
Theories Of Learning, edisi ke 7, cet,3 (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group,2008)
Berybe, H. Dilema pelembagaan pendidikan
Dalam Sindhunata, ed. Pendidikan kegelisahan sepanjang zaman.
(Yogyakarta: Kanisius, 2001)
Degeng, N. S. Pandangan
behavioristik vs konstruktivistik: Pemecahan masalah belajar abad XXI. (Malang: Makalah seminar TEP,2001)
Greenberg, J.B. Creating zones of
possibilities: Combining social contexts for instruction. Dalam Moll, L. C.,
ed. Vygotsky and education: Instructional
implications and applications of sociohistorycal psychology. (Cambrige:
University Press,1994)
Moh. Padil & Trio Supriyanto, Sosiologi
Pendidikan,(UIN-Malang Press, 2007)
Mohammad Asrori, Psikologi Pendidikan,
Seri Pembelajaran Efektif, (Bandung: CV. Wicaksana,2007)
Moll, L. C., ed. Vygotsky and education: Instructional implications and applications of
sociohistorycal psychology. (Cambrige: University Press, 1994)
Sri Hayati, Pendidikan Lingkungan
Hidup dalam Handbook Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, bagian III, Tim
Pengembangan Ilmu Pendidikan, FIP-UPI,(Imtima, 2007)
Sumiati & Asra, Metode Pembelajaran,
(Bandung: CV. Wacana Prima, 2007)
Sumiati & Asra, Metode
Pembelajaran, Seri Pembelajaran Efektif, (Bandung: CV. Wicaksana,2007)
Supratiknya, A., Service learning, belajar dari konteks kehidupan masyarakat: Paradigma
pembelajaran berbasis problem, mempertemukan Jean Piaget dan Lev Vygotsky.
(Yogyakarta: Pidato Dies USD ke 47, 2002)
Tudge, J. Vygotsky: The zone of proximal
development, and peer collaboration: Implications for classroom practice. Dalam
Moll, L. C., ed. Vygotsky and education:
Instructional implications and applications of sociohistorycal psychology.
(Cambrige: University Press, 1994)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar